Dingin memang. Tapi ada makhluk lain yang lebih menyiksa dari sekadar dingin, ialah sepi. Seperti kabut asap, keduanya bersekongkol menyelinap ke dalam ruanganku. Halus pelan, masuk lewat lobang ventilasi, lewat celah bagian bawah pintu, terus merambat di bawah kolong meja, naik menyisir lembaran-lembaran kertas di atasnya, melewati jaring-jaring rak buku, merayap mengendap-endap di tembok, di langit-langit, memenuhi ruangan dan mulai menggerayangi tiap senti kulitku. Kemudian serupa bisikan roh gaib, mereka melesap dalam lobang telinga. Dengan menyerupa aroma mistis, mereka melesap dalam lobang hidung. Serupa jarum-jarum mikro, mereka menusuk-nusuk lembut memedihkan mata. Hingga menjelma hantu, merasuki setiap bagian tubuh, perlahan-lahan mengambil alih kesadaranku. Lalu aku pasrah, menyerahkan diri untuk memudar menyatu dengan dingin dan sepi. “Mungkin akan ada ketenangan.” pikirku di saat terakhir. Tetapi gagal. Tanpa aku tahu, ternyata masih ada bising dan hangat di satu sudut ruangan dalam diriku. Itu kau.
Bangsat! Kau malah tersenyum, lalu dengan tegas dan lantang mendeklamasi kalimat terakhir puisi Sia-sia milik Chairil Anwar, “Mampus kau dikoyak-koyak sepi!”
Bandung, 25 Februari 2014